Aku menarik
napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan lewat mulutku yang terbuka
sedikit. Aku... memang sudah menduga ini semua akan terjadi, tapi aku tak
pernah benar-benar mengharapkannya terjadi. Sungguh.
"Aku...
nggak bisa jawab 'iya' kalau Rin masih suka sama dia."
"..."
Biarkan aku bernapas, Je.
"Kalau
Rin nggak bisa melepasnya, aku nggak bisa jawab 'iya'."
"Jangan
jadikan aku sebagai penghambat kalian. Toh, aku bukan siapa-siapanya, Je."
Ya, aku tahu kalau ini akan jadi
cinta yang bertepuk sebelah tangan.
"Tapi
Rin suka dia dan Rin temanku."
Ugh,
sekarang aku bingung harus berekspresi apa. Aku berusaha untuk tersenyum
semampuku.
"Nggak
apa-apa. Gigip sukanya sama Jean, bahkan sampai minta ta'aruf-an begitu.
Ahahaha."
Dan
entah bagaimana wajahku sekarang yang memaksakan diri untuk tertawa seperti
orang bodoh.
"Riniii..."
Jean
memelukku dan aku harus mati-matian menahan tangisku. "Sudah ah, malah
nangis nanti kalau dipeluk begini," kataku dengan nada bercanda.
Aku
menghembuskan napas berat.
"Je,
sebenarnya ini sudah kedua kalinya terjadi. Maksudku, dulu waktu SMP, aku
pernah menyukai seseorang. Tapi dia jadian dengan temanku dan karena itu, aku
lost contact dengannya. Bisa dibilang ini adalah kesempatan keduaku. Aku nggak
mau kehilangan temanku, terutama Jean. Aku sudah mengatakannya 'kan lewat
surat?"
Jean
tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya. Tiara ikut memelukku. Semua
laki-laki memperhatikan kami. Aku hanya tertawa sambil mengedipkan mata
beberapa kali. Berharap air mataku tak terlihat.
Banyak
pertanyaan yang ingin kutanyakan saat kilasan memori tentang aku dan dia muncul
di benakku.
Haaah...
Bodoh sekali...
Aku...
spesial di matanya?
Tidak, itu hanya pemikiranku yang
penuh harap tentangnya.
Perhatiannya
waktu kelas 11 dulu?
Dia memang baik pada orang lain.
Dia hanya membantu dan perhatian padaku sebagai teman. Sama seperti yang ia
lakukan pada yang lain.
Bagaimana
dengan kupon?
Waktu itu aku terlalu sibuk dengan
uang DAP, sampai aku tak sadar kalau ada pembagian kupon. Dia berbaik hati
mengambilnya untukku.
Lalu,
kenapa Jean nggak?
Kau bisa tanyakan itu pada orangnya
langsung.
Soal
gantungan?
Dia bilang hanya ingin
menyenangkanku. Mungkin dia tahu kalau aku berbohong nggak marah karena
ketemuannya ngaret. Atau mungkin juga sebagai hadiah aku menang lomba.
Nah,
soal ajakan bukbernya? Bukannya cuma kamu yang diajak dan kamu malah ngajak Kak
Prita dan Jean.
Karena aku nggak mau dikira
ke-GR-an kalau memang dia hanya mengajakku saja. Lalu akhirnya, hanya aku yang
pulang sendiri. Dia dengan Jean. Kak Prita dengan pacarnya. Saat itu aku
melihat bulan dan menangis. Tapi aku tidak menulisnya di suratku untuk dia. Aku
mengubah arah pembicaraan.
Dan
dari semua kejadian yang ada, kejadian itu yang membuatmu sadar, kan? Tapi kau
selalu saja menepisnya dan terus percaya kalau dia juga menyukaimu.
Iya, aku tahu.
Sekarang, aku merasa benar-benar
bodoh.
Dia menghindar waktu itu karena dia
nggak mau ada gosip yang aneh antara aku dan dia. Bukan cuma itu, dia juga
nggak mau menyakiti Jean. Ahahaha, aku sudah tahu kok. Kalian memang saling
suka sejak saat itu. Ah, tapi maaf kalau aku sok tahu.
Aku lihat statusmu, Je.
"Iya
da na~ nan cha tte!"
Kamu cemburu, kan?
Aku merasa kok, aku hanya nggak
berani bertanya.
Tenang, dia juga langsung jalan
duluan. Aku nggak jalan beriringan dengannya. Di sampingnya adalah tempat Jean.
Bohong kalau aku nggak sedih, aku menangis di jalan. Kalau di rumah, pasti Mama
akan bertanya dan aku nggak mau cerita soal itu ke Mama.
"Sepertinya,
aku tunggu angkot di sana saja," kataku.
"Yaudah,
aku tungguin," balas Jean.
Dia
ikut berhenti di belakang Jean.
"Nggak
perlu. Kalian duluan saja, sebentar lagi juga ada angkotnya," tolakku.
Maaf, rasanya aku nggak bisa
menahannya lagi.
"Oh,
yaudah."
Aku
berlari kecil menjauhi kalian yang sepertinya sudah berencana untuk pulang
bersama. Tangan kananku melambai sebentar ke arah mereka. Hanya Jean yang
membalas. Aku berjalan ke depan.
Dengan
pikiran kosong, aku kembali berbalik.
"Tunggu!"
teriakku sambil berlari menghampiri mereka lagi.
Mereka
berhenti melangkah.
Napasku
tersendat-sendat saat berdiri tepat di depan mereka. Sebenarnya aku nggak
yakin, tapi... ini yang terakhir kalinya sebagai tumpuanku untuk melangkah
maju. Aku menatap Jean sebentar.
"Ini...
Aku hanya akan mengatakannya sekali."
Aku
nggak mau melihat ekspresi mereka tapi aku memaksakan diri untuk menatap
mereka.
"Aku
suka Gigip."
"Aku
tahu, Jean sudah menceritakan semuanya. Aku... Ini yang terakhir. Aku juga
tahu, Gigip suka Jean, begitu juga Jean yang suka Gigip. Maaf, kalau perasaanku
membuat kalian terhambat. Sekali lagi, jangan jadikan aku sebagai penghambat
kalian, Je. Aku nggak ada hak untuk melarang kalian."
Aku
menghembuskan napas lagi.
"Oke,
lupakan perkataanku barusan. Anggap aku tak pernah membicarakan hal ini. Aku
juga akan melupakan perasaanku. Kuharap, kalian bahagia."
Aku
tersenyum lalu terkekeh pelan.
Saat
menengok ke samping kanan, ada angkot 19 lewat. Sontak aku menghampiri angkot
itu. "Jaa!" pamitku.
Setelahnya,
aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka. Di angkot, aku berusaha menenangkan
diri dan menahan tangis. Sambil mendengarkan lagu, aku membuka akun media
sosialku. Lagu Whiteeeen yang berjudul Hanbunko membuatku mengedipkan mata
beberapa kali lalu menghapus air mata yang muncul di ujung kedua mataku.
Ada
nama Rino di daftar teman yang sedang online. Aku langsung mengajaknya chat.
'Rino, aku mau curhat.'
FIN
Note
:
Oke, kali ini
memang nggak jelas. Aku hanya ingin cerita apa yang kupikirkan belakangan ini.
Kalau aku berani mengatakannya di tanggal 2 Juni kemarin, mungkin ini yang akan
terjadi.
Sebelum itu, aku
minta maaf karena bawa-bawa nama Jean dan Gigip. Err, oke. Kalau kalian membaca
posting-an ini, please jangan diungkit. Kalian hanya 'cukup tahu' aja. Untuk
orang-orang yang mengenalku juga, jangan ungkit soal ini di RL.
Tak apa kalau
kalian menganggapku pecundang, naif, atau sebagainya.
Terserah.
Itu hak kalian
untuk berpendapat.
Beginilah aku.
Aku nggak bisa bilang langsung face to face. Aku mengatakannya secara tersirat
dan tersurat, bukan secara langsung. Aku menuangkan semua perasaanku lewat
tulisan, entah lewat surat sampai membuat posting seperti ini.
Aku juga nggak
ada maksud untuk menjelek-jelekkan nama orang lain. Terutama orang-orang yang
sudah kusebutkan namanya di atas. Ini asli hanya pendapatku. Keinginanku.
Pemikiranku. Imajinasi yang bercampur dengan keinginanku.
Dan aku nggak
akan bilang kalau aku akan melupakannya.
Aku hanya ingin
melupakan perasaanku.
Toh, nggak bisa
juga lupa sama orangnya kalau sering ketemu. Aku juga sudah bertekad untuk
menjadi Rin yang biasanya. Jadi Rin yang gila akan ikemen, chara cute, berisik,
asal nyeplos. Tentunya jadi Rin yang bisa diandalkan. Aku harap begitu.
Terima kasih
juga buat Rino!
Ahahaha, maaf ya
sering curhat, cerewet, dsb. Makasih atas support dan bahan candaannya.
Makasih karena
sering ngatain baper. Padahal bapernya tergantung sikon...
Sama kayak ke
Jean, Galih, anggota INORI dan ATEENA, aku nggak bisa marah ke Rino. Toh, emang
dasarnya itu orang suka bercanda, nggak perlu sampe hati.
Maaf juga buat
Galih. Aku nggak tahu Galih udah tau apa belum. Tapi aku bingung mau cerita
atau nggak. Sorry, Galih.
Oke, nambah nama
lagi kan...
Haaah... Rasanya
lega kalau bisa cerita begini. Walau nggak ada feedback, tapi tetap lega
rasanya.
Thanks!
Aku nggak mau
kehilangan kalian semua! Love you, all!
Aku harap, saat
ketemu yang lain, nggak akan begini lagi. Wk!
CHAU!!