Jumat, 07 Juli 2017

My Life isn't Complete, Yet

Hi. ^^ Long time no see. How are you? I'm fine, though. But my laziness took over my body, wwwww!! 


As always, mau curhat, nih. Akhir-akhir ini kepikiran soal satu hal. Tapi satu hal ini buat hidupku terasa belum sempurna atau tidak utuh. Seperti di judul.

Cinta.

Klise? Iya. Aku tak tahu kenapa jadi melankolis dan buatku jadi pengemis cinta begini. Tapi sungguh, aku tidak mengemis untuk dicintai seseorang. 

Banyak hal yang terjadi. Katakanlah aku belum bisa move on sepenuhnya. Aku tidak akan menampiknya. Aku bisa saja menerima cinta seseorang dan menjalani hubungan serius dengannya, tapi di satu sisi aku juga sadar. Itu tidak akan berjalan lancar karena aku hanya memanipulasi pikiranku untuk mencintainya, dan aku sudah melakukan hal itu sekali.

Aku bilang padanya lewat chat, "Mungkin aku suka kamu." Aku benar-benar menyukainya memang. Berawal dari rasa kagum antara senpai-kouhai lalu berubah jadi rasa suka saat dia mengutarakan perasaannya padaku. Aku senang. Ada orang lain yang menyukaiku dalam konteks romantisme. Tapi hei, bukankah itu hal yang biasa terjadi saat seseorang menembakmu, kan?

Sayangnya, waktumu tidak bagus. Aku akui itu karena aku sudah menyukai orang lain, parahnya dia adalah temanku sendiri. Teman yang cukup dekat. Tapi bukan berarti aku menyalahkanmu. Kupikir, mungkin kau melihat 'kesempatan' karena tahu bahwa orang yang kusuka tidak akan membalas perasaanku. 

Sebelum kau menyatakannya, aku tahu kalau perasaanku tidak terbalas setelah melihat gelagatnya pada temanku. Namun aku terlalu naif, memilih untuk menutup mata dan telinga karena merasa wajar jika mereka dekat dan sering menghabiskan waktu bersama. Aku juga tahu, kau mungkin hanya main-main denganku.

Kau mengakuinya. Aku salut, kau berani jujur. Awalnya main-main lalu serius suka. Tingkahmu yang berubah secara tiba-tiba dulu buat aku takut, kau tahu. 

"Ini orang kemasukan apa?"

Itu yang kupikirkan dulu.

Aku merasa tidak nyaman berada di dekatmu. Sampai sekarang. Tapi aku tidak akan mengelak kalau kau bertanya, "Apa kau senang bersamaku? Hanya berdua?" 

Waktu kau mengajakku pergi berdua ke cuci gudang buku, aku senang. Kalau bisa aku langsung mengiyakan. Tapi karena ini pertama kalinya pergi berdua dengan lawan jenis, aku harus minta izin (yang sampai sekarang sering diungkit atau dibahas di rumah sama Mama). Aku tertarik ikut karena itu cuci gudang komik. Kau tahu aku suka beli komik, dan di hari itu aku juga tahu, kau cukup sering beli buku di toko khusus asal Jepang yang isinya banyak buku-buku bertuliskan bahasa Jepang dengan kanji, hiragana, dan katakana yang sampai sekarang belum bisa kupahami semuanya.

Kalau kau punya taktik untuk buat aku kagum dengan kefasihan bahasa Jepangmu, SELAMAT! Kau berhasil. Aku suka mendengarmu bercerita tentang tankubon Kuroko no Basuke volume terakhir yang kau beli dan kau bawa di hari itu.

Hei. Aku juga ingin berkata jujur padamu. Aku kecewa waktu tahu kalau kau tahu dia juga pergi ke sana di hari yang sama. 

Apa maksudmu?

Kau ingin menyakiti dirimu sendiri dengan melihatku menatap penuh harap padanya?

Apa kau semasokis itu?

Mood-ku memburuk. Aku tidak suka. Di saat aku memutuskan untuk melupakannya, kau malah bertindak seperti itu. Aku ingin menjaga jarak, makanya aku lebih suka berdiri di dekatmu. Tapi pertahananku runtuh saat di perjalanan pulang. 

Aku masih berharap padanya. Masih ingin menghabiskan waktu bersamanya. Aku tidak menyalahkanmu ataupun berterimakasih karena sudah membiarkanku duduk bersisian dengannya di kereta. Aku berusaha fokus baca manga favoritku, walau dalam hati rasanya campur aduk. Aku tidak terlalu senang. Aku tidak nyaman. Terlebih setelah temanku men-chat-ku dengan maksud untuk mengkonfirmasi apakah aku bersama dia. Tapi aku tidak mengungkitnya. 

Saat turun dari kereta, aku merasa linglung. Aku mencarimu. Tapi yang kudapat malah makin membuat mood-ku memburuk. Kau bertanya, "Marah ya, gak bareng dia?" Dengan cepat aku balas, "Gak." Aku memang marah, tapi bukan karena itu. Tapi karena pertanyaanmu.

Thanks. 

Tidak sampai situ, kau mengajakku makan bakso dulu dengan dia dan temannya. Aku memang lapar tapi aku merasa lelah secara emosional. Aku tak ingin dekat dan mengharapkannya lagi. Sudah cukup dua tahun aku membodohi diriku sendiri dengan mengatakan, "Dia pasti menyukaiku juga," dengan naifnya.

Sejujurnya daripada makan bakso, aku lebih suka langsung pulang. Tapi kau keras kepala mau mengantarku juga. Aku tidak tahu harus senang atau apa. Aku ingin sendiri. Itu yang kupikirkan. Lelah di dalam hatiku sudah mencapai batasnya.

Beruntungnya, tempat makan baksonya tutup. Kau langsung mengantarku pulang. Mungkin bermaksud untuk tahu dimana rumahku juga. Aku memberi arah yang cukup panjang dan berputar-putar karena tidak mau Bapakku yang kerja di bengkel dekat rumah melihatku denganmu. Sialnya, ban motormu jadi bocor kena paku.

Kau cerita, kau pernah (sering sepertinya) mengantar temanku pulang. Bannya bocor juga. Aku hanya tertawa lalu membicarakan hal random yang lain. Aku sadar, di hari itu aku banyak bicara. Itu karena aku tidak mau ada keheningan di antara kau dan aku. Rasanya awkward.

Sampai sekarang aku masih berpikir, "Kenapa aku tidak mengajakmu makan bakso sambil menunggu bannya ditambal?" Aku menyesal tapi kalau dipikir-pikir, mungkin kau tidak mau harga dirimu sebagai laki-laki direndahkan karena aku yang mentraktirmu makan. Aku juga tidak berani mengajakmu mampir ke rumahku sebentar. Tetanggaku terlalu berisik. Mereka akan bergosip ria soal kedatanganmu nanti.

Selebihnya aku merasa senang bisa menghabiskan waktu denganmu. Walau rasanya campur aduk seperti sedang naik roller coster. Tapi benar-benar deh, gara-gara kejadian itu, Mamaku kadang menanyakanmu. Sebal. Memang apa hubunganku denganmu? 

By the way, dari tadi kenapa aku membicarakanmu? 

Ah ya, tapi itu bukan berarti hidupku tidak lengkap tanpamu. 

Hei, di chat terakhirku sebelum kau pergi, aku minta maaf padamu. Aku tidak tahu kau mau memaafkanku atau tidak. Tapi aku memang terganggu karena kau mengajakku chat tiap hari di waktu yang tidak menentu. Sampai suatu hari kau tak pernah men-chat-ku lagi. Aku merasa lega. 

Aku bisa leluasa melakukan sesuatu tanpa perlu khawatir kau menunggu balasan chat-ku. Kau punya kehidupan,begitu juga denganku. Aku harap kau mengerti. Lebih baik fokus ke program studi dulu. Aku tidak keberatan chat denganmu, tapi ya jangan tiap hari atau tiap ada waktu senggang karena belum tentu aku sedang senggang. Aku tidak ingin mengganggu rutinitasmu, begitu juga dengamu (sepertinya?).

Lagi-lagi aku membicarakanmu. Haha. Funny.

Sejak saat itu aku merasa hubungan ini memang berakhir tanpa ada yang memulai. Hubungan apa? Saa, aku juga tidak tahu, haha.

Aku juga berpikir memang kau dan aku tidak bisa berjalan lancar. Aku merasa aku hanya memanipulasi pikiranku untuk menyukaimu. Aku melukaimu lebih dari yang kupikirkan. Aku tidak mau menyakitimu lagi. Lebih baik seperti ini.

Aku masih berharap, jika memang tidak bersama, kau masih menganggapku salah satu kouhai-mu. Tapi sepertinya sulit, ya? Mungkin kalau aku, aku bisa menganggapmu hanya seorang senpai yang kukagumi dan menjadikanmu kakak secara sepihak. Mungkin. Tapi hei, aku anak tunggal. Wajar 'kan jika aku melihatmu sebagai seorang adik pada kakaknya? Dari dulu memang aku mengharapkan kakak laki-laki sih, sebenarnya, haha.

Setelah dua kejadian itu, aku merasa bisa move on. Aku berusaha mengutamakan kegiatan kuliahku, walau tidak jarang di saat senggang aku malah memikirkan soal kisah cinta di hidupku yang selalu berakhir buruk. Seringnya ditinggal pergi tanpa kabar atau ditinggal begitu saja.

Mereka tidak tahu dari waktu ke waktu, aku merasa tidak ada lagi yang tersisa untuk kubagi dengan seseorang nanti. Ibaratnya hatiku adalah sebuah kue ulang tahun yang dipotong tiap aku menyukai seseorang. 

Aku sering mengharapkan potongan itu kembali padaku supaya hatiku bisa jadi satu seutuhnya lalu kuberikan hanya pada satu orang. Tapi aku tahu itu tidak mungkin karena potongan-potongannya berubah menjadi memori yang sulit kulupakan. Mungkin jauh dalam benakku, aku mengizinkan memori dan orang itu mengambil tempat terpencil dalam hatiku. Yah, mungkin saja. Aku masih tidak bisa mengerti tentang diriku sendiri. Terutama tentang apa yang kuinginkan di kehidupanku kelak.

Mungkin hanya satu.

Bahagia.

Jalan hidupku masih panjang. Mungkin aku tak bisa bahagia sebelum bisa membahagiakan orang tuaku. Banyak orang bilang, kebahagiaan itu mudah dicari. Dalam kitab Al Qur'an mengatakan hal yang sama, asal didasari dengan niat dan rasa ikhlas untuk melakukan segala sesuatunya. Tapi selama ini, aku sering merasa bahagia. Terutama saat menghabiskan waktu bersama keluargaku yang sederhana. Walau aku sadar, kebahagiaan itu hanya sementara, bahkan semu, karena suatu saat kebahagiaan itu akan diganti dengan kejadian buruk.

Aku memang terlalu negative thinking. Tapi yang namanya roda kehidupan pasti kadang ada di bawah, kadang ada di atas. Hidupku saat ini bisa dibilang ada di bawah karena faktor ekonomi. 

Banyak orang sekitar mencibir keluargaku karena Bapakku sekarang hanya seorang penjual batu akik cincin dan kalung, tapi anaknya malah kuliah, seolah aku minta kuliah tanpa memikirkan keadaan ekonomi keluarga. Tapi sejujurnya, aku berniat untuk kerja dulu atau kuliah di universitas atau politeknik negeri, tapi Bapak tidak mengizinkan dan malah menguliahkanku di Universitas Gunadarma yang bayarannya mahal tiap semester. Meski dapat potongan, tetap saja totalnya jadi beban. Walau begitu aku juga merasa tidak mempermasalahkan tentang pekerjaan orang tuaku selama pekerjaannya bukan bersifat haram. Jika mereka bertanya tentang pekerjaan orang tuaku mungkin aku akan menjawabnya secara umum. Bapakku seorang penjual dan Mamaku seorang ibu rumah tangga (dan menyambinya dengan menjadi asisten rumah tangga atau buruh cuci-gosok). Aku merasa jika aku menjawab terlalu detail, mereka akan menatapku iba atau bersimpati secara berlebihan, terutama teman sekelasku yang sekarang.

Aku tidak mau membicarakan tentang mereka karena aku tahu, mereka orang yang baik.

Lalu apa yang membuat hidupku belum lengkap? 

Iya, cinta.

Mari, balik lagi ke tema awal, hehe.

Sampai sekarang aku masih merasa iri pada orang-orang yang punya pacar dan terlihat langgeng. Apalagi setelah masuk kuliah, aku sering melihat gaya pacaran yang benar-benar pacaran dan berniat untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius, yaitu menikah. Bukan ta'aruf loh, tapi pacaran, haha. Ta'aruf 'kan beda karena tidak boleh lama-lama prosesnya yang sampai bertahun-tahun. Kalau itu sih namanya pacaran dan termasuk makhruh katanya.

Bukan cuma pacarannya yang buat aku iri, tapi proses sebelumnya. Proses dimana mereka ketemu dan saling suka lalu pacaran. Tanpa ada rasa cinta bertepuk sebelah tangan di antaranya karena pertama ketemu langsung saling suka. Aku suka kamu dan kamu juga suka aku. 

Perasaan cinta yang terbalas.

Aku ingin merasakannya walau kemungkinannya tak lebih dari 10% atau kurang dari 1% malah. Pasti rasanya bahagia di saat kamu suka seseorang lalu dia juga membalas perasaanmu dan bilang kalau dia suka sama kamu. Lebih istimewa lagi karena rasa cinta itu ada secara mutual atau alami. 

Ibaratnya seperti Perfect Pair di mataku. Salah satu OTP favoritku dari fandom Prince of Tennis karena sekarang aku masih kena demamnya. Masih suka berburu fanfic Perfect Pair. 

Banyak penggemar Tenipuri yang bilang kalau Perfect Pair atau Tezuka Kunimitsu x Fuji Syusuke adalah benar atau nyata atau official. One of true pair. Di wiki Tenipuri, aku baca, mereka berteman dan jadi rival. Tapi di satu sisi mereka bisa mengerti tanpa bicara secara langsung. Sering berdiri bersisian di tiap kesempatan. Tezuka yang pendiam jadi lebih aktif bicara saat Fuji tanding, sedangkan Fuji selalu memberikan hint tentang perasaannya secara langsung lewat ucapan. 

Sudah ratusan mungkin aku baca fanfic Perfect Pair. Semua fanfic fluff mereka sukses buat aku iri. Entah temanya homo atau straight, aku selalu iri karena rasa cinta di antara mereka muncul secara mutual. Aku yakin, mereka denial soal perasaan mereka terhadap satu sama lain jika mereka nyata. 

Lagipula, Tezuka bilang begini waktu tanding dengan Fuji, "By playing against you, I can improve myself." Lalu Fuji juga bilang, "By playing against you, I'd change." Bukan cuma itu, yang buat aku makin support hubungan mereka karena Fuji sempat bilang dalam hati, "I feel as though I can climb to any height with you," sebelum mayungin diri sendiri dan Tezuka. Di Jepang sana juga percaya soal pasangan sepayung gitu. Fix dong kalau hubungan mereka itu official. :3 

I'm not gomen for fangirling about them~

Tapi dibanding hubungan pacaran, aku lebih suka hubungan tanpa status tapi masing-masing tahu kalau mereka sudah jadi milik satu sama lain. Iya, seperti TezuFuji versi straight di fanfic Shyness in the boy. Walau banyak penghalang, orang ketiga keempat kelima dsb, tapi mereka masih saling memiliki tanpa harus bilang cinta dan ngajak pacaran. Seriuslah, padahal mereka masih SMP tapi pikirannya dewasa banget. Bikin iri parah. :')

Jadi, kesimpulannya apa dari postingan ini?

Apa ya? Cuma curhat hidupku belum lengkap. Gitu aja. .-.

Curhat ini pun berakhir dengan tidak elit dan diselipi aura humor, wwwww!!

Okay, ja ne!
Bye, bye!
CHAU!!

Tidak ada komentar: