Original Story by Rin Shouta
Bunga sakura terus berguguran selama perjalanan menuju sekolah. Suasana yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya ketika tahun ajaran baru dimulai dan di tahun ini adalah tahun terakhirku belajar di tingkat SMA. Aku menunduk dalam diam begitu gerbang sekolah terlihat beberapa ratus meter dari tempatku berjalan.
Ya.
Suasana yang sama dan tanpa satu pun teman di sampingku.
Menyedihkan,
bukan?
Aku
tertunduk setelah sayup-sayup terdengar kata-kata yang tak mengenakan di
telingaku. “Daijoubu[1],
Seira. Asal ada Brown, semua akan baik-baik saja,” kataku menyemangati diri
sendiri.
Bukankah
ini sudah menjadi makanan sehari-harimu, Seira Ichizen?
Aku
hanya tersenyum kecut mengingatnya.
Ya,
seperti inilah kehidupanku selama bersekolah di sini. Selalu mendapat hinaan
dan kritikkan dari siswi-siswi yang lain karena hal sepele. Bagiku memang hal
sepele tapi tidak untuk mereka, mungkin? Aku tidak bisa mengerti dengan arah
pemikiran mereka semua yang mencap diriku sebagai ‘playgirl’.
Sebelumnya,
aku sama sekali tidak memperdulikannya tapi...
Beberapa
minggu yang lalu, aku mulai jengah dengan semua cap dari mereka itu. Aku pun
mencari dan mencari dari buku satu ke buku lainnya. Dan dari buku yang kubaca
itu, kutemukan jawaban yang entah mengapa membuatku sesak saat membacanya. Di
sana tertulis dengan jelas, playgirl
adalah julukan untuk seorang gadis yang ‘sering’ berganti-ganti pacar atau
sering ‘mempermainkan’ perasaan lawan jenis.
Mereka
tidak tahu bahwa pada kenyataannya, akulah yang dipermainkan.
Para
laki-laki itu yang memintaku secara paksa dan sepihak untuk menjadi kekasihnya,
tapi mereka juga yang memutuskanku dalam hitungan kurang dari dua minggu. Sakit
hati? Tidak. Aku tidak pernah merasakannya karena selama ini aku selalu tidak
menjawab permintaan mereka. Selama ini, aku juga tidak pernah mengerti.
Perasaan cinta itu seperti apa?
Apa yang dimaksud dengan kekasih?
Tiba-tiba
langkahku terhenti tepat di depan pintu masuk gedung sekolah ketika sebuah
tangan yang lebih besar dariku menahan lengan kananku. Aku pun berbalik namun
tak bisa melihat wajahnya melainkan hanya dasi merahnya yang terlihat. Ia lebih
tinggi dariku dan bisa kupastikan ia adalah seorang laki-laki.
“Kau...
Kuma-Musume, kan?”
Suaranya
terdengar halus tapi apa katanya tadi? Kuma-Musume?
Laki-laki
itu merendahkan sedikit tubuhnya untuk melihat wajahku. Bisa kulihat ia
tersenyum seraya melepas lenganku dari genggamannya. Perlahan aku bergerak
mundur tanpa sedikit pun mendongakkan wajah. “Syukurlah, aku tidak salah
orang,” katanya setelah menghela napas lega.
“Kau
salah orang,” sahutku dengan nada datar.
“Mm?
Kurasa tidak salah, namamu pasti Seira Ichizen dari kelas 3-1.”
Kuberanikan
diri untuk menatapnya. “Tapi aku bukan Kuma-Musume.”
Ia
tertawa secara tiba-tiba mendengar perkataanku. Apa-apaan dia itu?
“Gomen ne[2].
Kalau bukan karena boneka beruang yang terus kau bawa, aku tidak akan memanggilmu
seperti itu,” katanya dengan nada menyesal. Senyumnya yang sedari tadi tidak pernah
absen dari wajahnya kini makin terlihat, err... manis? Terlebih setelah kulihat
rona merah di kedua pipinya. Sebenarnya siapa dia?
“Ada
sesuatu yang ingin kusampaikan.”
Kutundukkan
lagi kepalaku sambil meremas tali tas dengan tangan kanan.
“Mungkin
ini terlalu cepat karena baru kemarin kau dan Kain-senpai resmi putus. Tapi... aku harus menyampaikannya sekarang
padamu.” Tidak, jangan lagi... “Aku
ingin kau menjadi kekasihku karena a-aku mencintaimu, I-Ichizen.”
Aku
tak berani menatapnya, menatap wajah dari laki-laki blonde itu.
***
Terulang lagi, lagi, dan lagi. Aku bahkan tak pernah
tahu siapa dirinya tapi ia memintaku untuk menjadi pacarnya. Saat kutanyakan
pertanyaan yang sama dengan laki-laki lainnya, “pacaran itu apa?” Ia tak menjawab secara jelas dan malah terdengar
ambigu.
“Kau akan tahu nanti saat kita pacaran. Jadi, kau
mau ‘kan pacaran denganku?”
“Baka[3],
aku bahkan tak tahu namamu,” kataku sambil menutup buku yang kubaca sedari
tadi. Mataku memperhatikan lima huruf berwarna merah hati yang ada di cover buku. Kenapa aku malah membaca buku tentang cinta?
“Rinne
Kawamura. Itu namaku,” bisik seseorang di telingaku.
Deg!
Sontak aku menoleh seraya memegangi telinga kananku. “K-kau...”
“Gomen, aku hanya ingin menggodamu saja
tadi,” katanya.
Set, set.
Dengan
seenaknya laki-laki bernama Rinne itu mengacak-acak rambutku. “H-hentikan,”
pintaku sambil menepis tangannya. “Kau mau apa lagi!?” tanyaku dengan tatapan
tajam tertuju pada kedua mata zamrudnya.
“...”
Beberapa
detik berlalu, ia masih terdiam.
Aku
mendengus kesal lalu berjalan melewatinya.
“Hei,
aku ‘kan hanya bercanda,” kata Rinne sambil menahan lenganku.
Aku
bisa melihat kedua matanya memperhatikan buku di tangan kananku. “Apa yang kau
lihat?” Buku yang kubaca sesegera mungkin kusembunyikan di balik punggungku.
Tapi kurasa, ia sudah tahu apalagi setelah melihat senyum tipis di wajahnya
yang terlihat menyebalkan di mataku.
“Ternyata
selama ini kau membaca buku seperti... itu? Tentang cinta?”
“...”
Aku tak tahu harus menjawab apa.
Kulihat
ia menghela napas. “Jadi benar, kau tidak tahu apa-apa soal cinta?”
“Jawabanmu
masih terdengar ambigu di telingaku,” sahutku sambil berjalan menuju tempat
yang biasa kutempati saat berada di perpustakaan. Sebuah boneka beruang
berukuran satu meter milikku tengah duduk di samping lemari berisi buku-buku
fiksi dan sejarah. Bisa kudengar suara langkah kaki Rinne yang berjalan di
belakangku. Aku pun duduk tepat di samping kiri boneka beruangku dan membuka
kembali buku yang sebelumnya kubaca. “Apa itu cinta?” tanyaku pada laki-laki
itu ketika ia duduk di hadapanku.
“Sudah
kubilang ‘kan, kau akan tahu nanti,” jawab Rinne.
Jawaban ambigu lagi ternyata.
“Oh
iya! Apa Minggu besok kau ada waktu? Jika ada waktu, apa kita bisa ke Taman Ueno
untuk... kencan pertama?” Kencan? Kutatap
kedua matanya yang indah itu, meyakinkan diriku tentang kejujurannya.
Ia
hanya tersenyum geli melihatku tengah menelengkan kepala ke kiri.
***
Sudah lebih dari lima menit aku menunggu sosoknya yang
tidak juga datang ke rumah sederhanaku untuk menjemput. “Sudah kuduga dia hanya
membual,” gumamku seraya bangkit secara perlahan, mengingat sekarang aku sudah
memakai kimono[4]
favoritku.
Ting, tong!
Aku
melirik sebentar ke arah pintu. Apa itu Kawamura-san?
Dengan
segera kuhampiri pintu tersebut lalu terperanjat begitu melihatnya tengah
tersenyum manis seraya menyodorkan sebuket bunga aster putih kesukaanku. Tunggu! Dari mana dia tahu aku suka bunga
aster putih?
Belum
sempat aku bertanya, ia sudah menjelaskannya lebih dulu.
“Aku
tahu setelah melihat Michi—mantanmu—membelikannya untukmu.”
Kueratkan
pelukanku pada boneka beruang di tangan kiriku sementara tangan kananku
mengambil buket tersebut lalu mencium sebentar harum bunga tersebut sebelum membawanya
masuk. “Matte kudasai[5],”
pintaku.
Aku
menaruh buket itu secara asal di atas meja belajar. Sebelum aku keluar dari
kamar, kusempatkan diri untuk bercermin.
Entah
kenapa aku berpikir kimono berwarna
putih dan bermotif daun mamoji yang kupakai terlihat tidak cocok denganku.
Walaupun masih ada kimono lainnya
buatan Okaa-san[6]
dan kimono yang dibelikan Otou-san[7]
di tahun kemarin, tapi tetap saja kimono
jenis komon[8]
ini yang kupilih tiap tahunnya untuk hanami[9]. Sepertinya tak ada yang perlu dikhawatirkan
lagi.
Sebelum
pergi aku mengambil boneka beruangku—Brown—yang baru saja kutaruh di dekat
buket pemberian Rinne, kemudian membawanya bersamaku. Tak ada hari yang pernah
kulewati tanpa Brown.
***
Ketika kedua kaki menapaki jalan setapak di antara
puluhan bunga sakura yang berjejer dengan rapi di pinggirannya, aku tak pernah
berhenti untuk menarik pelan sudut bibirku ke atas. Sudah setahun terlewati
namun Taman Ueno tak berubah sama sekali. Kelopak bunga sakura yang terus berguguran
serta banyak orang yang datang berkelompok hanya untuk melihat bunga sakura
juga ada di tiap sudut taman. Di sebelah kananku terlihat pula Kolam Shinobazu
yang terkenal sebagai tempat tinggal burung-burung migran pada saat musim
dingin tiba.
“Sepertinya
sudah tak ada lagi tempat yang kosong,” katanya.
“Tak
apa. Jalan-jalan seperti ini juga tak masalah untukku,” sahutku seraya
mensejajarkan diri dengan langkah Rinne. Saat langkahku mulai seirama
dengannya, tiba-tiba tangan kiri laki-laki yang kini memakai yukata[10]
dan dibaluti hakama[11]
berwarna biru tua itu menggenggam tanganku.
Senyum
manis nampak di wajahnya. “Gomenasai[12].”
Aku
menatapnya heran. “Kenapa... meminta maaf?”
“Iie, nandemonai yo[13].”
Ia mengeratkan genggamannya.
Hangat. Tanpa
sadar tubuhku sedikit merapat padanya. “Jadi, ini yang namanya kencan?”
gumamku. Jantungku selalu berpacu di tiap detiknya. Aku sama sekali belum
pernah merasakan hal seperti ini. Tiap kali aku berkencan dengan laki-laki,
jantungku tidak pernah berdetak secepat ini.
Kutatap
dirinya yang tersenyum dengan bola mata beriris caramel milikku.
“Kau
memperlakukanku secara sederhana, berbeda dengan yang lainnya.”
“Karena...
hanya ini yang bisa kulakukan. Hidupku juga terlalu sederhana, berbeda dengan
kehidupanmu yang terlihat serba mewah,” katanya yang jujur, langsung membuatku
menunduk. Hidupku juga sepertimu, cukup
sederhana tanpa kehadiran Okaa-san dan Otou-san yang selalu sibuk dengan
pekerjaannya.
“Apa
aku salah berucap?” tanya Rinne dengan nada khawatir.
Aku
hanya menggelengkan kepala.
Kami
pun berjalan beriringan tanpa berbicara setelahnya.
Tiba-tiba
langkah Rinne berhenti. “Apa kau mau bermain bingo[14]
di sana?” ajaknya seraya menunjuk tempat dimana orang-orang tengah berkumpul di
bawah pohon sakura terbesar di Taman Ueno. Di tempat itu juga terlihat dua pria
paruh baya sedang menyerukan lomba permainan bingo yang mereka selenggarakan.
Kuanggukan
kepalaku sedikit sebelum ia menarikku untuk mendekati mereka.
***
Tak terasa hubungan tanpa status—menurutku—dengan
Rinne Kawamura sudah berjalan lebih dari dua minggu. Mungkin baginya kami sudah
benar-benar jadian. Tapi sebenarnya aku masih belum menjawab ajakannya karena
saat ia menembakku, aku hanya diam
tanpa berbicara sepatah kata pun.
Aku
tersenyum saat teringat dengan kejadian di hari Minggu kemarin.
Ya,
di hari itu, ia mengajakku merayakan hanami di Taman Ueno.
Kami
ikut menjadi peserta di permainan bingo.
Aku
tak pernah menyangka, laki-laki itu bisa menang dengan mudahnya. Ia berhasil
memenangkan juara pertama di permainan tersebut dan mendapatkan dua tiket masuk
gratis ke Tokyo Disneyland. “Aku pasti
akan memenangkannya untukmu, Ichizen.” Begitulah yang ia katakan sebelum
permainan dimulai.
Wajahku
berpaling dari buku yang kubaca ke arah luar jendela.
Dari
tempatku berada, aku bisa melihatnya tengah berlari memutari lapangan bersama
teman satu klubnya—klub badminton. Jendela kubuka perlahan karena cuaca kali
ini tampak cerah. “Mulai sekarang, kau
harus memanggilku ‘Rinne-kun[15]’
dan aku akan memanggilmu ‘Seira-chan[16]’.
Bagaimana? Tiap pasangan pasti akan memanggil pasangannya seperti itu.”
“Walau
kau memperlakukanku sesederhana itu, tetap saja berlebihan.”
Helaan
napas terdengar setelah aku mengingat perkataannya kemarin.
“Seira-chaaan!”
Deg!
Dengan cepat mataku mencari siapa yang memanggilku seperti itu. Terlihat Rinne
tengah melambaikan tangannya ke arahku. Senyum lima jari tak luput dari
wajahnya yang entah kenapa semakin tampan jika kuperhatikan. Rona merah kembali
menjalar di kedua pipiku. Langsung saja kututup jendela dan berbalik
membelakanginya.
***
Kali ini aku benar-benar gugup saat ia menggandeng
tanganku menuju gerbang masuk Tokyo Disneyland, sebuah taman bermain yang
sangat terkenal dan—mungkin—terbesar di Jepang. Kutatap punggungnya yang
berbalut jaket kulit hitam dengan kerah kemeja putihnya yang terlihat menyeruak
di bagian lehernya. Laki-laki itu makin terlihat tinggi dari sebelumnya kalau
memakai jeans biru.
“Akhirnya,
kita bisa ke sini sebelum tiket gratisnya hangus!” girang Rinne.
Tingkahnya
membuatku menahan tawa.
“Hei,
kalau kau mau tertawa, jangan ditahan seperti itu,” katanya sambil mencubit
pipi kiriku. Aku hanya meringis tanpa ada niat untuk menolak sentuhannya.
Hembusan angin menerpa wajahnya ketika tangannya mengelus pelan pipiku. Kututup
mataku di saat itu juga. Perasaan ini...
Perasaan hangat ini... hanya dimiliki Rinne-kun. Terdengar tawa kecil dari
laki-laki di hadapanku.
“Kenapa
tertawa?” tanyaku heran.
“Tingkahmu
membuatku ingin menciummu tahu.”
M-mencium...? Tanpa
ba-bi-bu lagi kututup mulutku dengan kedua tangan kiriku karena tanganku yang
lain memeluk Brown. “H-hei, aku hanya bercanda, Seira-chan. Ihihi.” Aku mendongak untuk melihat cara ia tertawa. Tubuhku
membeku di detik itu juga begitu sadar jarak kedua wajah kami kurang dari satu
meter. “Apa sekarang kau benar-benar jatuh cinta padaku?”
Deg!
Tanganku
yang di awal ingin menyentuh pipinya kini harus kujauhkan.
“Hmmph,
baiklah. Sepertinya memang yang ada di hatimu cuma Brown seorang, ya?”
Mendengar candaannya membuatku tertawa pelan dan tanpa kututupi lagi. Kenyataannya memang begitu. Aku
tersenyum tipis setelahnya.
“Nah,
begitu dong. Wajahmu makin terlihat manis saat tertawa.”
Aku
mengelak sebisaku saat tangannya ingin mengacak-acak rambut kecoklatanku yang
sudah susah payah kucepol dua. “Jangan mengacak-acak rambutku lagi, Rinne-kun,” pintaku dengan nada datar.
“Hai, hai[17].
Sekarang, kita mau ke wahana apa dulu?” tanyanya.
“Country
Bear Theater?”
“Apa
tak ada tempat lainnya, Seira-chan?”
***
Tak terasa waktu sudah berlalu begitu cepat.
Sekarang hari sudah petang, matahari pun ingin berbalik ke peraduannya saat aku
dan Rinne keluar dari Tokyo Disneyland. Kutatap kedua tangan kami yang tak
pernah lepas sejak awal kami bermain, Saat makan siang saja, aku harus
menegurnya dulu untuk melepaskan tanganku.
Syuuuh.
Angin
malam menerpa tubuhku dan membuatku menggigil seketika.
Pluk.
Tiba-tiba Rinne menyelimuti tubuhku yang hanya memakai long dress selutut berwarna jingga dengan jaket kulit hitamnya.
“Maaf,
karena terlalu asyik bermain, sampai lupa waktu begini.”
Aku
menggelengkan kepalaku pelan. “Tak apa,” kataku seraya menunduk sedalam mungkin
begitu aroma tubuhnya tercium oleh hidungku. Hal itu membuatku mabuk dan
terperosok lebih jauh ke dalam pesonanya untuk kesekian kalinya. “Ini bukan
salahmu. Kalau saja aku tidak salah memilih baju, tak akan jadi kedinginan
seperti ini.”
“Kita
ke café itu dulu ya, untuk menghangat
diri,” ajaknya.
“Um-mm.”
Kami
pun berjalan menuju sebuah café yang
berada di persimpangan jalan yang ditunjuk Rinne tadi. Laki-laki itu memilih
kursi di sudut ruangan. Ingin membicarakan sesuatu yang bersifat privasi
katanya. Aku hanya menurut dan terus mengekor di belakangnya. Pelayan pun
datang ke meja kami untuk mencatat pesanan.
Beberapa
puluh menit berlalu, pesanan yang kami pesan sudah siap di atas meja.
“Aku
tidak pernah berpikir, kau benar-benar mau menjadi pacarku.”
Mataku
menatap Rinne yang dengan tenangnya mulai memotong steak-nya.
Bisa
kulihat dengan jelas, pandangannya yang kosong tertuju padaku.
“Katamu,
ada yang ingin kau bicarakan dan bersifat privasi padaku,” ungkitku sambil
bersiap untuk memotong steak
pesananku. Dalam diam aku tersenyum. “Sudah saatnya, ya?” Aku tahu, cepat atau lambat, Rinne pasti akan memutuskan hubungan
ini. Mm, tapi tunggu, kenapa aku
menganggap kami memang benar-benar jadian? Aku terdiam sejenak.
“Apa
maksudmu?” tanyanya tidak mengerti.
Kupalingkan
wajahku ke samping. “Kau pasti ingin memutuskanku. Iya, kan? Sama seperti
laki-laki lainnya.” Senyum getir terpasang di wajahku tanpa kupinta.
“Kau
bicara apa sih? Kau tahu dari mana kalau aku ingin memutuskanmu?”
“Feeling.”
Suara
gesekan dari pisau dan piring terdengar setelahnya.
Ia
tak melanjutkan pembicaraan, begitu juga aku karena terlalu enggan.
“Aku
tahu, sejak awal kau tak pernah menganggapku sebagai pacarmu. Aku juga tahu,
kau bukanlah seorang ‘playgirl’ seperti
yang mereka bicarakan,” akunya. Mendengar hal itu membuatku terbelalak lalu
kembali tertunduk. “Kau... hanya belum pernah merasakan perasaan itu dan lebih
memilih untuk tak menjawab, seperti yang kau lakukan padaku. Iya, kan?”
“...ya.”
“Sekarang,
apa kau sudah mengerti?”
Aku
menatap mata zamrudnya. “Hangat,” kataku sambil mengeratkan jaket miliknya yang
terpasang di kedua bahuku. “Aku... aku bingung menjelaskannya,” kataku lagi
dengan jujur.
“Ya,
begitulah perasaan mencintai seseorang. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata
dan tahu-tahu, kau sudah menyukainya tanpa alasan yang jelas pula.” Ia tertawa
lalu melanjutkan, “kau pasti tidak percaya soal ini. Tapi aku berani bersumpah,
kalau aku jatuh cinta padamu sejak lama, bahkan sebelum aku mengenal dan
melihatmu secara langsung. Aneh, bukan?”
Aku
menggelengkan kepala. Sebelum ini, aku memang pernah membaca sebuah novel
dengan alur yang sama seperti yang diceritakan Rinne.
“Rasanya
memang aneh. Mendengar ucapan mereka yang tidak-tidak tentangmu, hatiku
langsung bergejolak. Aku marah dan terus saja berujar dalam hati. ‘Hei! Kau tak
tahu apa-apa tentangnya! Bagaimana mungkin bisa menyebut Seira Ichizen sebagai
playgirl!?’ Hahaha, bahkan aku pernah meneriaki mereka seperti itu, lho,”
cerita Rinne seraya menyuap steak-nya.
“Rinne-kun...”
“Aku...
waktu itu, bersungguh-sungguh mengatakannya,” lirihnya.
Tanganku
terkepal mendengar semua itu. Antara kesal, senang, sedih, dan bahagia di saat
yang bersamaan. Aku kesal karena tanpa sepengetahuanku, ia sudah membela gadis
yang belum dikenalnya seperti itu. Aku sedih, sedih karena tersadar bahwa selama
ini aku sudah menyakitinya tanpa kusadari. Namun di lain sisi, aku juga senang
dan bahagia karena pada akhirnya, aku bisa menemukan laki-laki yang benar-benar
serius denganku. Laki-laki yang menerimaku apa adanya. Kuberikan senyum tulusku
padanya sehingga membuatnya terpaku.
“Arigatou, Rinne-kun...”
“Seira...-chan?”
Kugenggam
tangan besar itu dengan tangan kananku. “Aku... sungguh-sungguh ingin menjadi
pacarmu dan ingin selalu berada di sampingmu, Rinne-kun. Selamanya, aku ingin bersamamu,” ucapku serius, tanpa
menghilangkan senyum tulusku. Kulihat ia melepas genggamanku lalu berdiri dari
kursinya. “R-Rinne—”
—grep!
“Aku
juga ingin bersamamu, Seira Ichizen. Selamanya di sisimu, My Kuma-Musume,” bisik Rinne sambil mengeratkan pelukannya. Aku
hanya menangis dalam diam seraya membalas pelukan hangatnya. Arigatou, Rinne-kun.
The End
[1]
Tidak apa-apa.
[2]
Maaf ya.
[3]
Bodoh
[4]
Pakaian tradisional Jepang
[5]
Mohon tunggu sebentar
[6]
Ibu
[7]
Ayah
[8]
Jenis kimono santai untuk wanita yang sudah/belum menikah dengan motif
sederhana.
[9] Acara
tradisional menikmati mekarnya bunga sakura bersama-sama.
[10]
Kimono khas musim panas.
[11]
Pakaian luar tradisional jepang yang dipakai untuk
menutupi pinggang sampai mata kaki
[12]
Maafkan aku (lebih sopan).
[13]
Tidak, bukan apa-apa.
[14]
Permainan angka.
[15]
Panggilan untuk teman laki-laki yang dekat dengan kita/untuk teman perempuan
yang mirip laki-laki
[16]
Panggilan untuk teman perempuan yang dekat dengan kita/untuk teman laki-laki
yang mirip perempuan
[17]
Baik, baik.
Note :
Nama yang sering kupakai itu Rin Shouta, akun FB sekarang diganti jadi Kamijou Rin, tapi mau dirubah lagi jadi Rin Shouta. ._. Mungkin bulan Agustus nanti kalo udah bisa, itu juga...
Aku juga punya penname, ada 2. Yang satu untuk fanfic pairing straight, namanya Setsuko Mizuka. Yang satunya lagi, untuk fanfic pairing Male x Male, namanya Oto Ichiiyan. Mereka kupakai di akun FFn. Kalo di blog ini, cukup Rin Shouta aja ya! :D
Gambar di atas bukan punyaku, ngambil dari mbah Google. Seira Ichizen, anggap aja itu gambaran dari sosoknya.
Aku buat cerita ini waktu mau berpartisipasi di suatu event, cuma karena gak lolos, aku publish aja di sini. :)
Lain waktu aku publish cerita lainnya!
OKEEE! CHAU! >_<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar