Rabu, 08 Juli 2015

Kuma Musume ~Gadis Beruang~

Original Story by Rin Shouta


 
Bunga sakura terus berguguran selama perjalanan menuju sekolah. Suasana yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya ketika tahun ajaran baru dimulai dan di tahun ini adalah tahun terakhirku belajar di tingkat SMA. Aku menunduk dalam diam begitu gerbang sekolah terlihat beberapa ratus meter dari tempatku berjalan.


Ya. Suasana yang sama dan tanpa satu pun teman di sampingku.


Menyedihkan, bukan?


Aku tertunduk setelah sayup-sayup terdengar kata-kata yang tak mengenakan di telingaku. “Daijoubu[1], Seira. Asal ada Brown, semua akan baik-baik saja,” kataku menyemangati diri sendiri.


Bukankah ini sudah menjadi makanan sehari-harimu, Seira Ichizen?


Aku hanya tersenyum kecut mengingatnya.


Ya, seperti inilah kehidupanku selama bersekolah di sini. Selalu mendapat hinaan dan kritikkan dari siswi-siswi yang lain karena hal sepele. Bagiku memang hal sepele tapi tidak untuk mereka, mungkin? Aku tidak bisa mengerti dengan arah pemikiran mereka semua yang mencap diriku sebagai ‘playgirl’.


Sebelumnya, aku sama sekali tidak memperdulikannya tapi...


Beberapa minggu yang lalu, aku mulai jengah dengan semua cap dari mereka itu. Aku pun mencari dan mencari dari buku satu ke buku lainnya. Dan dari buku yang kubaca itu, kutemukan jawaban yang entah mengapa membuatku sesak saat membacanya. Di sana tertulis dengan jelas, playgirl adalah julukan untuk seorang gadis yang ‘sering’ berganti-ganti pacar atau sering ‘mempermainkan’ perasaan lawan jenis.


Mereka tidak tahu bahwa pada kenyataannya, akulah yang dipermainkan.


Para laki-laki itu yang memintaku secara paksa dan sepihak untuk menjadi kekasihnya, tapi mereka juga yang memutuskanku dalam hitungan kurang dari dua minggu. Sakit hati? Tidak. Aku tidak pernah merasakannya karena selama ini aku selalu tidak menjawab permintaan mereka. Selama ini, aku juga tidak pernah mengerti.


Perasaan cinta itu seperti apa?


Apa yang dimaksud dengan kekasih?


Tiba-tiba langkahku terhenti tepat di depan pintu masuk gedung sekolah ketika sebuah tangan yang lebih besar dariku menahan lengan kananku. Aku pun berbalik namun tak bisa melihat wajahnya melainkan hanya dasi merahnya yang terlihat. Ia lebih tinggi dariku dan bisa kupastikan ia adalah seorang laki-laki.


“Kau... Kuma-Musume, kan?”


Suaranya terdengar halus tapi apa katanya tadi? Kuma-Musume?


Laki-laki itu merendahkan sedikit tubuhnya untuk melihat wajahku. Bisa kulihat ia tersenyum seraya melepas lenganku dari genggamannya. Perlahan aku bergerak mundur tanpa sedikit pun mendongakkan wajah. “Syukurlah, aku tidak salah orang,” katanya setelah menghela napas lega.


“Kau salah orang,” sahutku dengan nada datar.


“Mm? Kurasa tidak salah, namamu pasti Seira Ichizen dari kelas 3-1.”


Kuberanikan diri untuk menatapnya. “Tapi aku bukan Kuma-Musume.


Ia tertawa secara tiba-tiba mendengar perkataanku. Apa-apaan dia itu?


Gomen ne[2]. Kalau bukan karena boneka beruang yang terus kau bawa, aku tidak akan memanggilmu seperti itu,” katanya dengan nada menyesal. Senyumnya yang sedari tadi tidak pernah absen dari wajahnya kini makin terlihat, err... manis? Terlebih setelah kulihat rona merah di kedua pipinya. Sebenarnya siapa dia?


“Ada sesuatu yang ingin kusampaikan.”


Kutundukkan lagi kepalaku sambil meremas tali tas dengan tangan kanan.


“Mungkin ini terlalu cepat karena baru kemarin kau dan Kain-senpai resmi putus. Tapi... aku harus menyampaikannya sekarang padamu.” Tidak, jangan lagi... “Aku ingin kau menjadi kekasihku karena a-aku mencintaimu, I-Ichizen.”

Aku tak berani menatapnya, menatap wajah dari laki-laki blonde itu.


***


Terulang lagi, lagi, dan lagi. Aku bahkan tak pernah tahu siapa dirinya tapi ia memintaku untuk menjadi pacarnya. Saat kutanyakan pertanyaan yang sama dengan laki-laki lainnya, “pacaran itu apa?” Ia tak menjawab secara jelas dan malah terdengar ambigu.


“Kau akan tahu nanti saat kita pacaran. Jadi, kau mau ‘kan pacaran denganku?”


Baka[3], aku bahkan tak tahu namamu,” kataku sambil menutup buku yang kubaca sedari tadi. Mataku memperhatikan lima huruf berwarna merah hati yang ada di cover buku. Kenapa aku malah membaca buku tentang cinta?


“Rinne Kawamura. Itu namaku,” bisik seseorang di telingaku.


Deg! Sontak aku menoleh seraya memegangi telinga kananku. “K-kau...”


Gomen, aku hanya ingin menggodamu saja tadi,” katanya.


Set, set.


Dengan seenaknya laki-laki bernama Rinne itu mengacak-acak rambutku. “H-hentikan,” pintaku sambil menepis tangannya. “Kau mau apa lagi!?” tanyaku dengan tatapan tajam tertuju pada kedua mata zamrudnya.


“...”


Beberapa detik berlalu, ia masih terdiam.


Aku mendengus kesal lalu berjalan melewatinya.


“Hei, aku ‘kan hanya bercanda,” kata Rinne sambil menahan lenganku.


Aku bisa melihat kedua matanya memperhatikan buku di tangan kananku. “Apa yang kau lihat?” Buku yang kubaca sesegera mungkin kusembunyikan di balik punggungku. Tapi kurasa, ia sudah tahu apalagi setelah melihat senyum tipis di wajahnya yang terlihat menyebalkan di mataku.


“Ternyata selama ini kau membaca buku seperti... itu? Tentang cinta?”


“...” Aku tak tahu harus menjawab apa.


Kulihat ia menghela napas. “Jadi benar, kau tidak tahu apa-apa soal cinta?”


“Jawabanmu masih terdengar ambigu di telingaku,” sahutku sambil berjalan menuju tempat yang biasa kutempati saat berada di perpustakaan. Sebuah boneka beruang berukuran satu meter milikku tengah duduk di samping lemari berisi buku-buku fiksi dan sejarah. Bisa kudengar suara langkah kaki Rinne yang berjalan di belakangku. Aku pun duduk tepat di samping kiri boneka beruangku dan membuka kembali buku yang sebelumnya kubaca. “Apa itu cinta?” tanyaku pada laki-laki itu ketika ia duduk di hadapanku.


“Sudah kubilang ‘kan, kau akan tahu nanti,” jawab Rinne.


Jawaban ambigu lagi ternyata.


“Oh iya! Apa Minggu besok kau ada waktu? Jika ada waktu, apa kita bisa ke Taman Ueno untuk... kencan pertama?” Kencan? Kutatap kedua matanya yang indah itu, meyakinkan diriku tentang kejujurannya.


Ia hanya tersenyum geli melihatku tengah menelengkan kepala ke kiri.


***


Sudah lebih dari lima menit aku menunggu sosoknya yang tidak juga datang ke rumah sederhanaku untuk menjemput. “Sudah kuduga dia hanya membual,” gumamku seraya bangkit secara perlahan, mengingat sekarang aku sudah memakai kimono[4] favoritku.


Ting, tong!


Aku melirik sebentar ke arah pintu. Apa itu Kawamura-san?


Dengan segera kuhampiri pintu tersebut lalu terperanjat begitu melihatnya tengah tersenyum manis seraya menyodorkan sebuket bunga aster putih kesukaanku. Tunggu! Dari mana dia tahu aku suka bunga aster putih?


Belum sempat aku bertanya, ia sudah menjelaskannya lebih dulu.


“Aku tahu setelah melihat Michi—mantanmu—membelikannya untukmu.”


Kueratkan pelukanku pada boneka beruang di tangan kiriku sementara tangan kananku mengambil buket tersebut lalu mencium sebentar harum bunga tersebut sebelum membawanya masuk. “Matte  kudasai[5],” pintaku.


Aku menaruh buket itu secara asal di atas meja belajar. Sebelum aku keluar dari kamar, kusempatkan diri untuk bercermin.


Entah kenapa aku berpikir kimono berwarna putih dan bermotif daun mamoji yang kupakai terlihat tidak cocok denganku. Walaupun masih ada kimono lainnya buatan Okaa-san[6] dan kimono yang dibelikan Otou-san[7] di tahun kemarin, tapi tetap saja kimono jenis komon[8] ini yang kupilih tiap tahunnya untuk hanami[9]. Sepertinya tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.


Sebelum pergi aku mengambil boneka beruangku—Brown—yang baru saja kutaruh di dekat buket pemberian Rinne, kemudian membawanya bersamaku. Tak ada hari yang pernah kulewati tanpa Brown.


***


Ketika kedua kaki menapaki jalan setapak di antara puluhan bunga sakura yang berjejer dengan rapi di pinggirannya, aku tak pernah berhenti untuk menarik pelan sudut bibirku ke atas. Sudah setahun terlewati namun Taman Ueno tak berubah sama sekali. Kelopak bunga sakura yang terus berguguran serta banyak orang yang datang berkelompok hanya untuk melihat bunga sakura juga ada di tiap sudut taman. Di sebelah kananku terlihat pula Kolam Shinobazu yang terkenal sebagai tempat tinggal burung-burung migran pada saat musim dingin tiba.


“Sepertinya sudah tak ada lagi tempat yang kosong,” katanya.


“Tak apa. Jalan-jalan seperti ini juga tak masalah untukku,” sahutku seraya mensejajarkan diri dengan langkah Rinne. Saat langkahku mulai seirama dengannya, tiba-tiba tangan kiri laki-laki yang kini memakai yukata[10] dan dibaluti hakama[11] berwarna biru tua itu menggenggam tanganku.


Senyum manis nampak di wajahnya. “Gomenasai[12].”


Aku menatapnya heran. “Kenapa... meminta maaf?”


Iie, nandemonai yo[13].” Ia mengeratkan genggamannya.


Hangat. Tanpa sadar tubuhku sedikit merapat padanya. “Jadi, ini yang namanya kencan?” gumamku. Jantungku selalu berpacu di tiap detiknya. Aku sama sekali belum pernah merasakan hal seperti ini. Tiap kali aku berkencan dengan laki-laki, jantungku tidak pernah berdetak secepat ini.


Kutatap dirinya yang tersenyum dengan bola mata beriris caramel milikku.


“Kau memperlakukanku secara sederhana, berbeda dengan yang lainnya.”


“Karena... hanya ini yang bisa kulakukan. Hidupku juga terlalu sederhana, berbeda dengan kehidupanmu yang terlihat serba mewah,” katanya yang jujur, langsung membuatku menunduk. Hidupku juga sepertimu, cukup sederhana tanpa kehadiran Okaa-san dan Otou-san yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.


“Apa aku salah berucap?” tanya Rinne dengan nada khawatir.


Aku hanya menggelengkan kepala.


Kami pun berjalan beriringan tanpa berbicara setelahnya.


Tiba-tiba langkah Rinne berhenti. “Apa kau mau bermain bingo[14] di sana?” ajaknya seraya menunjuk tempat dimana orang-orang tengah berkumpul di bawah pohon sakura terbesar di Taman Ueno. Di tempat itu juga terlihat dua pria paruh baya sedang menyerukan lomba permainan bingo yang mereka selenggarakan.


Kuanggukan kepalaku sedikit sebelum ia menarikku untuk mendekati mereka.


***


Tak terasa hubungan tanpa status—menurutku—dengan Rinne Kawamura sudah berjalan lebih dari dua minggu. Mungkin baginya kami sudah benar-benar jadian. Tapi sebenarnya aku masih belum menjawab ajakannya karena saat ia menembakku, aku hanya diam tanpa berbicara sepatah kata pun.


Aku tersenyum saat teringat dengan kejadian di hari Minggu kemarin.


Ya, di hari itu, ia mengajakku merayakan hanami di Taman Ueno.


Kami ikut menjadi peserta di permainan bingo.


Aku tak pernah menyangka, laki-laki itu bisa menang dengan mudahnya. Ia berhasil memenangkan juara pertama di permainan tersebut dan mendapatkan dua tiket masuk gratis ke Tokyo Disneyland. “Aku pasti akan memenangkannya untukmu, Ichizen.” Begitulah yang ia katakan sebelum permainan dimulai.


Wajahku berpaling dari buku yang kubaca ke arah luar jendela.


Dari tempatku berada, aku bisa melihatnya tengah berlari memutari lapangan bersama teman satu klubnya—klub badminton. Jendela kubuka perlahan karena cuaca kali ini tampak cerah. “Mulai sekarang, kau harus memanggilku ‘Rinne-kun[15]’ dan aku akan memanggilmu ‘Seira-chan[16]’. Bagaimana? Tiap pasangan pasti akan memanggil pasangannya seperti itu.”


“Walau kau memperlakukanku sesederhana itu, tetap saja berlebihan.”


Helaan napas terdengar setelah aku mengingat perkataannya kemarin.


“Seira-chaaan!”


Deg! Dengan cepat mataku mencari siapa yang memanggilku seperti itu. Terlihat Rinne tengah melambaikan tangannya ke arahku. Senyum lima jari tak luput dari wajahnya yang entah kenapa semakin tampan jika kuperhatikan. Rona merah kembali menjalar di kedua pipiku. Langsung saja kututup jendela dan berbalik membelakanginya.


***


Kali ini aku benar-benar gugup saat ia menggandeng tanganku menuju gerbang masuk Tokyo Disneyland, sebuah taman bermain yang sangat terkenal dan—mungkin—terbesar di Jepang. Kutatap punggungnya yang berbalut jaket kulit hitam dengan kerah kemeja putihnya yang terlihat menyeruak di bagian lehernya. Laki-laki itu makin terlihat tinggi dari sebelumnya kalau memakai jeans biru.


“Akhirnya, kita bisa ke sini sebelum tiket gratisnya hangus!” girang Rinne.


Tingkahnya membuatku menahan tawa.


“Hei, kalau kau mau tertawa, jangan ditahan seperti itu,” katanya sambil mencubit pipi kiriku. Aku hanya meringis tanpa ada niat untuk menolak sentuhannya. Hembusan angin menerpa wajahnya ketika tangannya mengelus pelan pipiku. Kututup mataku di saat itu juga. Perasaan ini... Perasaan hangat ini... hanya dimiliki Rinne-kun. Terdengar tawa kecil dari laki-laki di hadapanku.


“Kenapa tertawa?” tanyaku heran.


“Tingkahmu membuatku ingin menciummu tahu.”


M-mencium...? Tanpa ba-bi-bu lagi kututup mulutku dengan kedua tangan kiriku karena tanganku yang lain memeluk Brown. “H-hei, aku hanya bercanda, Seira-chan. Ihihi.” Aku mendongak untuk melihat cara ia tertawa. Tubuhku membeku di detik itu juga begitu sadar jarak kedua wajah kami kurang dari satu meter. “Apa sekarang kau benar-benar jatuh cinta padaku?”


Deg!


Tanganku yang di awal ingin menyentuh pipinya kini harus kujauhkan.


“Hmmph, baiklah. Sepertinya memang yang ada di hatimu cuma Brown seorang, ya?” Mendengar candaannya membuatku tertawa pelan dan tanpa kututupi lagi. Kenyataannya memang begitu. Aku tersenyum tipis setelahnya.


“Nah, begitu dong. Wajahmu makin terlihat manis saat tertawa.”


Aku mengelak sebisaku saat tangannya ingin mengacak-acak rambut kecoklatanku yang sudah susah payah kucepol dua. “Jangan mengacak-acak rambutku lagi, Rinne-kun,” pintaku dengan nada datar.


Hai, hai[17]. Sekarang, kita mau ke wahana apa dulu?” tanyanya.


“Country Bear Theater?”


“Apa tak ada tempat lainnya, Seira-chan?”


***


Tak terasa waktu sudah berlalu begitu cepat. Sekarang hari sudah petang, matahari pun ingin berbalik ke peraduannya saat aku dan Rinne keluar dari Tokyo Disneyland. Kutatap kedua tangan kami yang tak pernah lepas sejak awal kami bermain, Saat makan siang saja, aku harus menegurnya dulu untuk melepaskan tanganku.


Syuuuh.


Angin malam menerpa tubuhku dan membuatku menggigil seketika.


Pluk. Tiba-tiba Rinne menyelimuti tubuhku yang hanya memakai long dress selutut berwarna jingga dengan jaket kulit hitamnya.


“Maaf, karena terlalu asyik bermain, sampai lupa waktu begini.”


Aku menggelengkan kepalaku pelan. “Tak apa,” kataku seraya menunduk sedalam mungkin begitu aroma tubuhnya tercium oleh hidungku. Hal itu membuatku mabuk dan terperosok lebih jauh ke dalam pesonanya untuk kesekian kalinya. “Ini bukan salahmu. Kalau saja aku tidak salah memilih baju, tak akan jadi kedinginan seperti ini.”


“Kita ke café itu dulu ya, untuk menghangat diri,” ajaknya.


“Um-mm.”


Kami pun berjalan menuju sebuah café yang berada di persimpangan jalan yang ditunjuk Rinne tadi. Laki-laki itu memilih kursi di sudut ruangan. Ingin membicarakan sesuatu yang bersifat privasi katanya. Aku hanya menurut dan terus mengekor di belakangnya. Pelayan pun datang ke meja kami untuk mencatat pesanan.


Beberapa puluh menit berlalu, pesanan yang kami pesan sudah siap di atas meja.


“Aku tidak pernah berpikir, kau benar-benar mau menjadi pacarku.”


Mataku menatap Rinne yang dengan tenangnya mulai memotong steak-nya.


Bisa kulihat dengan jelas, pandangannya yang kosong tertuju padaku.


“Katamu, ada yang ingin kau bicarakan dan bersifat privasi padaku,” ungkitku sambil bersiap untuk memotong steak pesananku. Dalam diam aku tersenyum. “Sudah saatnya, ya?Aku tahu, cepat atau lambat, Rinne pasti akan memutuskan hubungan ini. Mm, tapi tunggu, kenapa aku menganggap kami memang benar-benar jadian? Aku terdiam sejenak.


“Apa maksudmu?” tanyanya tidak mengerti.


Kupalingkan wajahku ke samping. “Kau pasti ingin memutuskanku. Iya, kan? Sama seperti laki-laki lainnya.” Senyum getir terpasang di wajahku tanpa kupinta.


“Kau bicara apa sih? Kau tahu dari mana kalau aku ingin memutuskanmu?”


Feeling.”


Suara gesekan dari pisau dan piring terdengar setelahnya.


Ia tak melanjutkan pembicaraan, begitu juga aku karena terlalu enggan.


“Aku tahu, sejak awal kau tak pernah menganggapku sebagai pacarmu. Aku juga tahu, kau bukanlah seorang ‘playgirl’ seperti yang mereka bicarakan,” akunya. Mendengar hal itu membuatku terbelalak lalu kembali tertunduk. “Kau... hanya belum pernah merasakan perasaan itu dan lebih memilih untuk tak menjawab, seperti yang kau lakukan padaku. Iya, kan?”


“...ya.”


“Sekarang, apa kau sudah mengerti?”


Aku menatap mata zamrudnya. “Hangat,” kataku sambil mengeratkan jaket miliknya yang terpasang di kedua bahuku. “Aku... aku bingung menjelaskannya,” kataku lagi dengan jujur.


“Ya, begitulah perasaan mencintai seseorang. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata dan tahu-tahu, kau sudah menyukainya tanpa alasan yang jelas pula.” Ia tertawa lalu melanjutkan, “kau pasti tidak percaya soal ini. Tapi aku berani bersumpah, kalau aku jatuh cinta padamu sejak lama, bahkan sebelum aku mengenal dan melihatmu secara langsung. Aneh, bukan?”


Aku menggelengkan kepala. Sebelum ini, aku memang pernah membaca sebuah novel dengan alur yang sama seperti yang diceritakan Rinne.


“Rasanya memang aneh. Mendengar ucapan mereka yang tidak-tidak tentangmu, hatiku langsung bergejolak. Aku marah dan terus saja berujar dalam hati. ‘Hei! Kau tak tahu apa-apa tentangnya! Bagaimana mungkin bisa menyebut Seira Ichizen sebagai playgirl!?’ Hahaha, bahkan aku pernah meneriaki mereka seperti itu, lho,” cerita Rinne seraya menyuap steak-nya.


“Rinne-kun...”


“Aku... waktu itu, bersungguh-sungguh mengatakannya,” lirihnya.


Tanganku terkepal mendengar semua itu. Antara kesal, senang, sedih, dan bahagia di saat yang bersamaan. Aku kesal karena tanpa sepengetahuanku, ia sudah membela gadis yang belum dikenalnya seperti itu. Aku sedih, sedih karena tersadar bahwa selama ini aku sudah menyakitinya tanpa kusadari. Namun di lain sisi, aku juga senang dan bahagia karena pada akhirnya, aku bisa menemukan laki-laki yang benar-benar serius denganku. Laki-laki yang menerimaku apa adanya. Kuberikan senyum tulusku padanya sehingga membuatnya terpaku.


Arigatou, Rinne-kun...


“Seira...-chan?”


Kugenggam tangan besar itu dengan tangan kananku. “Aku... sungguh-sungguh ingin menjadi pacarmu dan ingin selalu berada di sampingmu, Rinne-kun. Selamanya, aku ingin bersamamu,” ucapku serius, tanpa menghilangkan senyum tulusku. Kulihat ia melepas genggamanku lalu berdiri dari kursinya. “R-Rinne—”


—grep!


“Aku juga ingin bersamamu, Seira Ichizen. Selamanya di sisimu, My Kuma-Musume,” bisik Rinne sambil mengeratkan pelukannya. Aku hanya menangis dalam diam seraya membalas pelukan hangatnya. Arigatou, Rinne-kun.


The End





[1] Tidak apa-apa.

[2] Maaf ya.

[3] Bodoh

[4] Pakaian tradisional Jepang

[5] Mohon tunggu sebentar

[6] Ibu

[7] Ayah

[8] Jenis kimono santai untuk wanita yang sudah/belum menikah dengan motif sederhana.

[9] Acara tradisional menikmati mekarnya bunga sakura bersama-sama.

[10] Kimono khas musim panas.

[11] Pakaian luar tradisional jepang yang dipakai untuk menutupi pinggang sampai mata kaki

[12] Maafkan aku (lebih sopan).

[13] Tidak, bukan apa-apa.

[14] Permainan angka.

[15] Panggilan untuk teman laki-laki yang dekat dengan kita/untuk teman perempuan yang mirip laki-laki

[16] Panggilan untuk teman perempuan yang dekat dengan kita/untuk teman laki-laki yang mirip perempuan


[17] Baik, baik.

Note :
Nama yang sering kupakai itu Rin Shouta, akun FB sekarang diganti jadi Kamijou Rin, tapi mau dirubah lagi jadi Rin Shouta. ._. Mungkin bulan Agustus nanti kalo udah bisa, itu juga... 
Aku juga punya penname, ada 2. Yang satu untuk fanfic pairing straight, namanya Setsuko Mizuka. Yang satunya lagi, untuk fanfic pairing Male x Male, namanya Oto Ichiiyan. Mereka kupakai di akun FFn. Kalo di blog ini, cukup Rin Shouta aja ya! :D

Gambar di atas bukan punyaku, ngambil dari mbah Google. Seira Ichizen, anggap aja itu gambaran dari sosoknya. 

Aku buat cerita ini waktu mau berpartisipasi di suatu event, cuma karena gak lolos, aku publish aja di sini. :)

Lain waktu aku publish cerita lainnya!

OKEEE! CHAU! >_< 

Tidak ada komentar: