GUNDAM SEED/DESTINY © Masatsugu Iwase, Yohiyuki Tomino, Hajime
Yatate © SUNRISE
Rin Shouta
Present
.
Precious Rose
Rate : T
Genre : Tragedy, Angst, War, etc.
Pairing :
AsuCaga
Warning :
First Canon, OOC, Typos, AU, GaJe, dsb.
.
Summary : ORB Union adalah
tempat tinggalku. Namun sekarang yang tersisa hanya puing-puing. Bahkan
aku tidak yakin ada yang bisa bertahan hidup setelah perang dahsyat
antara Coordinator dan Natural yang terjadi di ORB. Andai aku berada di
sana saat itu, mungkin aku bisa menyelamatkan mereka, walau tidak semua
penduduk bisa kuselamatkan. Full of Cagalli's POV.
.
.
.
Chapter 8
Please, Save Me
NOTE : Fanfic ini asli punya saya yang pernah dipublish di
FFn. Saya punya 2 pen name, yaitu Setsuko Mizuka (pairing:straight) dan
Oto Ichiiyan (pairing:malexmale). ._. Bisa dibilang, Mizuka itu
straight dan Ichiiyan itu diri saya yang ke arah Fujo. Masih gak ngerti?
Yaudah... -_-o
Sudah tiga hari ini
aku terkurung di sini. Tak ada aktivitas lain yang bisa kulakukan selain duduk
di atas dinginnya lantai dengan tangan terantai. Ya, sejak aku terkurung di
ruangan gelap tanpa penerangan sama sekali ini, mereka merantaiku. Sadis,
bukan?
Cahaya kecil keluar dari
celah-celah dinding. Aku tidak terlalu yakin itu dari sinar matahari.
Tiba-tiba perutku terasa sakit lagi.
“Aaargh!” teriakku sambil meringkuk di lantai.
“Aaargh!” teriakku sambil meringkuk di lantai.
Bukan hanya perut, rasa panas dari
lengan dan kaki kananku kembali terasa. Aku berteriak lagi dan lagi. “S-sial...
hah, hah, hah.” ‘Aku... tak bisa bertahan
lagi jika terus terkurung seperti ini. Apalagi setelah salah satu petinggi ZAFT
yang ada di pengadilan waktu itu memaksaku untuk meminum sebuah kapsul yang aku
sendiri tidak tahu dari mana asalnya semalam.’ Napasku memburu begitu
mengingatnya.
“S-siapa pun... tolong aku...,”
lirihku sambil memandangi pintu berbahan baja itu.
“...”
Untuk yang kesekian kalinya, air
mata keluar dari kedua mataku. “T-tolong...”
“Baiklah, kami akan memberikan
waktu selama sepuluh menit untuk menjenguknya.”
Dengan pandangan mengabur karena
air mata yang menggenangi pelupuk mata, aku menatap ke arah pintu yang terbuka
secara perlahan. Aku tersenyum tipis tanpa ada niat untuk mengubah posisiku
yang tengah meringkuk di lantai. “Uugh!” Aku kembali meringis saat rasa sakit
di perutku kembali terasa.
“Caggy...”
‘Suara
ini...’ Aku tersenyum mendengar suaranya lagi. “K-kukira kau... takkan mau
mengunjungiku, Kap—tidak, maksudku Athrun Z-Zala. Bagaimana perasaanmu... ugh,
s-setelah melihat seorang n-natural sepertiku tengah berada di a-ambang
kematian?”
“Hentikan, Caggy.” Terdengar dari
nadanya kalau ia ingin menangis.
“C-cengeng.”
“...”
Aku terdiam sebentar lalu kembali
berteriak karena tubuhku kembali terasa panas.
“Caggy!” Bisa kurasakan ia
mendekatiku dan dengan sedikit cahaya, aku bisa melihat wajahnya yang menatapku
penuh kekhawatiran. “Aku... ingin bertanya padamu, A-Athrun...” Kulihat ia
mengangguk. “Untuk apa kau b-bertempur? A-apa bertempur untuk b-balas dendam
itu d-dibenarkan? Apa... tindakanku selama ini s-salah?”
“...aku tidak bisa menjawabnya.”
Aku hanya tersenyum sebagai
balasannya. “B-begitu. K-kau tahu, aku s-sempat bertemu Kira saat aku
b-berusaha untuk... u-ugh, menghancurkan Freedom dan Justice,” ceritaku yang
pastinya membuat Athrun kaget. Dan benar, ia kaget. “Aku... sangat lega b-bisa
melihatnya waktu itu.”
“...berhenti berbicara, Caggy.
Kumohon.”
“B-bukannya kau tidak suka j-jika
aku diam saja?” kataku sambil mengingat kejadian di pesawat lima hari yang
lalu.
“Apa kau mau bebas dari tempat ini,
Caggy?”
“...huh? Kau ingin...
membebaskanku?”
Kulihat Athrun menatapku serius dan
itu membuatku tertawa. “Kenapa tertawa?” tanyanya.
“Aku hanya berpikir, bagaimana aku
bisa bebas dari sini.”
“Aku akan meledakkan sebagian
tempat ini untuk mengeluarkanmu. Tapi tenang, kau takkan mati. Aku jamin itu.”
.
.
.
Athrun dan aku berusaha lari dari
kejaran para tentara yang mengikuti kami dari tempat selama ini aku terkurung.
“Setelah ini, kita mau ke mana?” tanyaku lirih di gendongan Athrun. Terlihat
dengan jelas keringat menuruni dahi dan pipinya. Aku tahu ia lelah karena
menggendong tubuhku di balik panggungnya. “Jangan paksakan dirimu, Athrun.
Kumohon,” pintaku.
“Ini kemauanku, Caggy. Aku sudah
muak dengan semua ini!”
“...”
“Aku... ingin bicara dengan Kira,
makanya a—”
—DOR!
DOR! DOR! Tiba-tiba beberapa tembakan datang dari sisi kanan kami. Salah
satunya berhasil mengenai lengan kanan Athrun. Tentu saja membuat kami
tersungkur ke lantai karena Athrun tak bisa menahan beratku lagi setelah
tangannya terkena peluru. “Ayah...” Aku bisa mendengar dengan jelas bahwa
laki-laki di sampingku memanggil seseorang yang menembaknya dengan sebutan
‘Ayah’.
“Apa yang kau lakukan dengan
‘monster’ ini, Athrun!?”
“...”
Secara samar, beberapa tentara
menodongkan pistolnya ke arah kami. ‘Tak
adakah jalan lain untuk keluar dari sini, Ayah?’ tanyaku dalam hati dengan
nada putus asa.
“Bukan dia, tapi kalianlah yang
monster! Dengan teganya memperlakukan seorang manusia layaknya hewan buas yang
harus dikurung, disiksa, lalu dibunuh! Apa masih pantas kalian menyebut diri
kalian adalah manusia!?” teriak Athrun pada ayahnya sendiri, Patrick Zala.
“Ath...run, hiks.”
Aku tak bisa melihat seseorang bertengkar dengan ayahnya sendiri di depanku.
Aku tak bisa melihat seseorang bertengkar dengan ayahnya sendiri di depanku.
“Dari awal seharusnya kau tahu,
dialah natural yang dimaksud oleh mitos itu, Athrun!”
‘Mitos?
Apa maksudnya?’ Kutatap sosok Athrun yang terus memegangi lengan kanannya
sambil menatap Patrick dengan penuh emosi. Aku ingin minta kejelasan darinya
tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Ia menatapku sesaat dan tersenyum dalam
hitungan satu detik saja. “Aku ingin mengajukan satu permintaan.”
“Huh?” Alisku mengkerut karena
bingung, begitu juga Patrick dan tentara lainnya.
Ia berdiri membelakangi. “Kalian
boleh menangkapku, asal kalian mau merawat lukanya.”
Ckrek.
Suara pistol yang ditarik pelatuknya terdengar dari depan Athrun.
“Kau sudah gila, Athrun? Membiarkan
‘monster’ itu hidup sama saja membunuh kita semua!”
“...setidaknya dia bisa jadi umpan
untuk menghancurkan Bumi dan semua natural. Kita bisa mengancam mereka karena
mereka juga sedang mencari sosok dalam mitos itu.” Kepalaku mendadak pening
setelah mendengar perkataan Athrun yang justru membuatku semakin bingung. ‘Sebenarnya apa yang kau rencanakan,
Athrun?’
Kulihat sosok Patrick tersenyum
penuh kemenangan. “Ide yang bagus, Athrun.”
“Athrun... kenapa k-kau...” Aku
menggapai kakinya sambil menatap wajah laki-laki itu. Aku ingin minta kejelasan
namun ia malah menatapku dengan pandangan sedih. Tanpa kupinta, air mata
kembali menuruni kedua pipiku saat tubuhku terangkat ke atas. Salah satu
tentara ZAFT menggendongku dan mendudukkanku ke atas kursi roda. Mendadak
tentara itu memberikan suntikan di lengan kiriku yang masih tertutup seragam
merahku, sontak aku meringis dan tak sadarkan diri setelahnya.
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar