Kamis, 02 Juli 2015

[Gundam SEED/Destiny] Precious Rose 08


GUNDAM SEED/DESTINY © Masatsugu Iwase, Yohiyuki Tomino, Hajime Yatate © SUNRISE
  Rin Shouta 
Present
.
Precious Rose
Rate : T
Genre : Tragedy, Angst, War, etc.
Pairing : AsuCaga
Warning : First Canon, OOC, Typos, AU, GaJe, dsb.
.
Summary : ORB Union adalah tempat tinggalku. Namun sekarang yang tersisa hanya puing-puing. Bahkan aku tidak yakin ada yang bisa bertahan hidup setelah perang dahsyat antara Coordinator dan Natural yang terjadi di ORB. Andai aku berada di sana saat itu, mungkin aku bisa menyelamatkan mereka, walau tidak semua penduduk bisa kuselamatkan. Full of Cagalli's POV.
.
.
.
Chapter 8
Please, Save Me





Sudah tiga hari ini aku terkurung di sini. Tak ada aktivitas lain yang bisa kulakukan selain duduk di atas dinginnya lantai dengan tangan terantai. Ya, sejak aku terkurung di ruangan gelap tanpa penerangan sama sekali ini, mereka merantaiku. Sadis, bukan?

Cahaya kecil keluar dari celah-celah dinding. Aku tidak terlalu yakin itu dari sinar matahari.


Tiba-tiba perutku terasa sakit lagi.

“Aaargh!” teriakku sambil meringkuk di lantai.


Bukan hanya perut, rasa panas dari lengan dan kaki kananku kembali terasa. Aku berteriak lagi dan lagi. “S-sial... hah, hah, hah.” ‘Aku... tak bisa bertahan lagi jika terus terkurung seperti ini. Apalagi setelah salah satu petinggi ZAFT yang ada di pengadilan waktu itu memaksaku untuk meminum sebuah kapsul yang aku sendiri tidak tahu dari mana asalnya semalam.’ Napasku memburu begitu mengingatnya.


“S-siapa pun... tolong aku...,” lirihku sambil memandangi pintu berbahan baja itu.


“...”


Untuk yang kesekian kalinya, air mata keluar dari kedua mataku. “T-tolong...”

“Baiklah, kami akan memberikan waktu selama sepuluh menit untuk menjenguknya.”
Dengan pandangan mengabur karena air mata yang menggenangi pelupuk mata, aku menatap ke arah pintu yang terbuka secara perlahan. Aku tersenyum tipis tanpa ada niat untuk mengubah posisiku yang tengah meringkuk di lantai. “Uugh!” Aku kembali meringis saat rasa sakit di perutku kembali terasa.


“Caggy...”


‘Suara ini...’ Aku tersenyum mendengar suaranya lagi. “K-kukira kau... takkan mau mengunjungiku, Kap—tidak, maksudku Athrun Z-Zala. Bagaimana perasaanmu... ugh, s-setelah melihat seorang n-natural sepertiku tengah berada di a-ambang kematian?”


“Hentikan, Caggy.” Terdengar dari nadanya kalau ia ingin menangis.


“C-cengeng.”


“...”


Aku terdiam sebentar lalu kembali berteriak karena tubuhku kembali terasa panas.


“Caggy!” Bisa kurasakan ia mendekatiku dan dengan sedikit cahaya, aku bisa melihat wajahnya yang menatapku penuh kekhawatiran. “Aku... ingin bertanya padamu, A-Athrun...” Kulihat ia mengangguk. “Untuk apa kau b-bertempur? A-apa bertempur untuk b-balas dendam itu d-dibenarkan? Apa... tindakanku selama ini s-salah?”


“...aku tidak bisa menjawabnya.”


Aku hanya tersenyum sebagai balasannya. “B-begitu. K-kau tahu, aku s-sempat bertemu Kira saat aku b-berusaha untuk... u-ugh, menghancurkan Freedom dan Justice,” ceritaku yang pastinya membuat Athrun kaget. Dan benar, ia kaget. “Aku... sangat lega b-bisa melihatnya waktu itu.”


“...berhenti berbicara, Caggy. Kumohon.”


“B-bukannya kau tidak suka j-jika aku diam saja?” kataku sambil mengingat kejadian di pesawat lima hari yang lalu.


“Apa kau mau bebas dari tempat ini, Caggy?”


“...huh? Kau ingin... membebaskanku?”


Kulihat Athrun menatapku serius dan itu membuatku tertawa. “Kenapa tertawa?” tanyanya.


“Aku hanya berpikir, bagaimana aku bisa bebas dari sini.”


“Aku akan meledakkan sebagian tempat ini untuk mengeluarkanmu. Tapi tenang, kau takkan mati. Aku jamin itu.”


.

.

.


Athrun dan aku berusaha lari dari kejaran para tentara yang mengikuti kami dari tempat selama ini aku terkurung. “Setelah ini, kita mau ke mana?” tanyaku lirih di gendongan Athrun. Terlihat dengan jelas keringat menuruni dahi dan pipinya. Aku tahu ia lelah karena menggendong tubuhku di balik panggungnya. “Jangan paksakan dirimu, Athrun. Kumohon,” pintaku.


“Ini kemauanku, Caggy. Aku sudah muak dengan semua ini!”


“...”


“Aku... ingin bicara dengan Kira, makanya a—”


—DOR! DOR! DOR! Tiba-tiba beberapa tembakan datang dari sisi kanan kami. Salah satunya berhasil mengenai lengan kanan Athrun. Tentu saja membuat kami tersungkur ke lantai karena Athrun tak bisa menahan beratku lagi setelah tangannya terkena peluru. “Ayah...” Aku bisa mendengar dengan jelas bahwa laki-laki di sampingku memanggil seseorang yang menembaknya dengan sebutan ‘Ayah’.


“Apa yang kau lakukan dengan ‘monster’ ini, Athrun!?”


“...”


Secara samar, beberapa tentara menodongkan pistolnya ke arah kami. ‘Tak adakah jalan lain untuk keluar dari sini, Ayah?’ tanyaku dalam hati dengan nada putus asa.


“Bukan dia, tapi kalianlah yang monster! Dengan teganya memperlakukan seorang manusia layaknya hewan buas yang harus dikurung, disiksa, lalu dibunuh! Apa masih pantas kalian menyebut diri kalian adalah manusia!?” teriak Athrun pada ayahnya sendiri, Patrick Zala.


“Ath...run, hiks.”

Aku tak bisa melihat seseorang bertengkar dengan ayahnya sendiri di depanku.

“Dari awal seharusnya kau tahu, dialah natural yang dimaksud oleh mitos itu, Athrun!”


‘Mitos? Apa maksudnya?’ Kutatap sosok Athrun yang terus memegangi lengan kanannya sambil menatap Patrick dengan penuh emosi. Aku ingin minta kejelasan darinya tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Ia menatapku sesaat dan tersenyum dalam hitungan satu detik saja. “Aku ingin mengajukan satu permintaan.”


“Huh?” Alisku mengkerut karena bingung, begitu juga Patrick dan tentara lainnya.


Ia berdiri membelakangi. “Kalian boleh menangkapku, asal kalian mau merawat lukanya.”


Ckrek. Suara pistol yang ditarik pelatuknya terdengar dari depan Athrun.


“Kau sudah gila, Athrun? Membiarkan ‘monster’ itu hidup sama saja membunuh kita semua!”


“...setidaknya dia bisa jadi umpan untuk menghancurkan Bumi dan semua natural. Kita bisa mengancam mereka karena mereka juga sedang mencari sosok dalam mitos itu.” Kepalaku mendadak pening setelah mendengar perkataan Athrun yang justru membuatku semakin bingung. ‘Sebenarnya apa yang kau rencanakan, Athrun?’


Kulihat sosok Patrick tersenyum penuh kemenangan. “Ide yang bagus, Athrun.”


“Athrun... kenapa k-kau...” Aku menggapai kakinya sambil menatap wajah laki-laki itu. Aku ingin minta kejelasan namun ia malah menatapku dengan pandangan sedih. Tanpa kupinta, air mata kembali menuruni kedua pipiku saat tubuhku terangkat ke atas. Salah satu tentara ZAFT menggendongku dan mendudukkanku ke atas kursi roda. Mendadak tentara itu memberikan suntikan di lengan kiriku yang masih tertutup seragam merahku, sontak aku meringis dan tak sadarkan diri setelahnya.

To Be Continued

NOTE : Fanfic ini asli punya saya yang pernah dipublish di FFn. Saya punya 2 pen name, yaitu Setsuko Mizuka (pairing:straight) dan Oto Ichiiyan (pairing:malexmale). ._. Bisa dibilang, Mizuka itu straight dan Ichiiyan itu diri saya yang ke arah Fujo. Masih gak ngerti? Yaudah... -_-o

Tidak ada komentar: