Tugas Soft Skill : Perekonomian Indonesia
BAB 6
Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
- Undang-Undang Otonomi Daerah
- Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
- Pembangunan Ekonomi Regional
- Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan
- Pembangunan Indonesia Bagian Timur
- Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
1.
Undang-Undang Ekonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah,
otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani,
otonomi berasal dari kata “autos” dan “namos”. Autos berarti sendiri dan namos
berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan
untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah
tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah.
Pelaksanaan otonomi daerah selain
berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi
yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih
luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan
dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.
Terdapat dua nilai dasar yang
dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
a. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam
pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di
dalamnya yang bersifat negara (Eenheidstaat), yang berarti kedaulatan yang
melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di
antara kesatuan-kesatuan pemerintahan.
b. Nilai Dasar Desentralisasi Teritorial,
dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Prinsip otonomi yang dianut
adalah:
a. Nyata,
otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
b. Bertanggung
jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan
di seluruh pelosok tanah air; dan
c. Dinamis,
pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju.
Dasar Hukum yang berlaku:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Ketetapan
MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
c. Ketetapan
MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah.
d. UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
e. UU
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Beberapa aturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
a. Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
b. Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
c. Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
d. Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
e. Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah
f. Perpu
No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
g. Undang-Undang
No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam
rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat
disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah
masing-masing.
Otonomi daerah diberlakukan di
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3839). Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah[2] sehingga digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437). Selanjutnya,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini
telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir kali dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).
Ini merupakan kesempatan yang
sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam
melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu
daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu
pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam
rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan
perundang-undangan.
2.
Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli
Daerah
Secara sederhana, perubahan APBD
dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana
keuangan dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa
berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau
sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam
satu SKPD.
Perubahan atas setiap komponen
APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk
perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk
alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan
berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi
salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.
Perubahan atas pendapatan,
terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat
keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan
APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD).
Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan
karena beberapa sebab, yaitu:
a. Tidak
terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran.
b. Perubahan
kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah.
c. Penyesuaian
target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa kondisi yang
menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
a. Target
pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah).
Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka
angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif.
b. Alasan
penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral
hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan
adalah sebagai budget minimizer.
c. Jika dalam
APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam
APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan
pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut
PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
a. Menurut
Warsito (2001:128) Pendapatan Asli
Daerah “Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang bersumber dan
dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah,
restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan
asli daerah lainnya yang sah”.
b. Sedangkan
menurut Herlina Rahman (2005:38)
Pendapatan asli daerah Merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah ,hasil distribusi hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otoda sebagai perwujudan asas desentralisasi.
c. Kebijakan
keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai
sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam
rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya
guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat
atas (subsidi). (Mamesa, 1995:30)
d. Sebagaimana
telah diuraikan terlebih dahulu bahwa pendapatan daerah dalam hal ini
pendapatan asli daerah adalah salah satu sumber dana pembiayaan pembangunan
daerah pada Kenyataannya belum cukup memberikan sumbangan bagi pertumbuhan
daerah, hal ini mengharuskan pemerintah daerah menggali dan meningkatkan
pendapatan daerah terutama sumber pendapatan asli daerah.
e. Pendapatan
Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33
Tahun 2004)
3.
Pembangungan Ekonomi Regional
Secara tradisional pembangunan
memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau
Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang
tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu
provinsi, kabupaten, atau kota.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan
ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
Tujuan utama dari usaha-usaha
pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya,
harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan
dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan
memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000).
Masalah pokok dalam pembangunan
daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan
yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan
potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal
(daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif
yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan
kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah adalah
suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru,
pembangunan industry-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang
ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi
pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan
baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi
daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja
untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah
daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif
pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi
masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus
mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan
membangun perekonomian daerah.
4.
Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan
Berikut beberapa faktor utama
penyebab terjadinya ketimpangn pembangunan ekonomi dalam satu wilayah Negara :
a.
Konsentrasi
Kegiatan Ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah
tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan
pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi
tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang
rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah.
b.
Alokasi
Investasi
Indikator lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah
distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA)
maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan
ekonomi Harrod-Domar, bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut
menjadi rendah, karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti
industri manufaktur.
c.
Mobilitas
Antar Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah
Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda
semakin majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal.
Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke
posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas). Fenomena “move
up the ladder” ini dengan sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya
lapisan terbawah. Walaupun demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu
saja. Sebenarnya lapisan ini sangat substansial, karena menopang “ladders” atau
lapisan-lapisan yang berada di atasnya.
d.
Perbedaan
SDA Antar Provinsi
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan
ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur
dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya sampai dengan tingkat
tertentu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA dianggap
sebagai modal awal untuk pembangunan. Dalam proses pemulihan ekonomi nasional,
pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai
sebaliknya malah akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan
merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri.
e.
Perbedaan
Kondisi Demografis Antar Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan
lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh
sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini
biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
f.
Kurang
Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan
ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran
tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan komunikasi.
5.
Pembangunan Indonesia Bagian Timur
GBHN 1993 mengamanatkan perlunya
menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta melaksanakan otonomi daerah
yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggungjawab di dalam suatu kesatuan
Wawasan Nusantara. Implikasinya adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan daerah
tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi finansial kepada propinsi atau
kawasan yang relatif tertinggal, akan tetapi justru lebih difokuskan untuk
dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari masing-masing daerah tersebut untuk
dapat mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki demi
kepentingan daerah yang bersangkutan pada khususnya maupun kepentingan nasional
pada umumnya.
Selama PJP I, perkembangan ekonomi
antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa propinsi-propinsi di Pulau Jawa
pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan
dengan propinsi lainnya di luar Jawa. Perbedaan perkembangan antardaerah
tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan dan kemajuan
antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia
(KBI) dengan kawasan timur Indonesia (KTI), dan antara daerah perkotaan dengan
daerah perdesaan. Disamping itu, masih ditemui daerah-daerah yang relatif
tertinggal dibandingkan daerah lain, yaitu daerah terpencil, daerah minus,
daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya.
Dalam PJP II, wilayah kawasan
timur Indonesia (KTI) yang secara definitif meliputi 13 propinsi yang ada di
wilayah Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan timur, telah diberikan prioritas
untuk dikembangkan dalam upaya untuk memperkecil tingkat kesenjangan yang
terjadi antara kawasan barat Indonesia dengan KTI selama PJP I yang lalu.
Sebenarnya, sejak lima tahun terkahir ini upaya untuk mempercepat pembangunan
dan mengembangkan KTI telah banyak dilakukan melalui berbagai kebijaksanaan dan
program pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta melalui berbagai
seminar, lokakarya, rapat kerja, sarasehan yang membahas masalah pembangunan
KTI yang dilakukan baik oleh pemerintah, pihak perguruan tinggi, maupun pihak
dunia usaha swasta.
Dalam membangun KTI, terdapat
beberapa faktor pokok yang perlu diberikan perhatian lebih mendalam dalam
memformulasikan strategi pengembangannya, yaitu:
a. Adanya
keanekaragaman situasi dan kondisi daerah-daerah di KTI yang memerlukan
kebijaksanaan serta solusi pembangunan yang disesuaikan dengan kepentingan
setempat (local needs).
b. Perlunya
pendekatan pembangunan yang dilaksanakan secara terpadu dan menggunakan
pendekatan perwilayahan.
c. Perencanaan
pembangunan di daerah harus memperhatikan serta melibatkan peranserta masyarakat.
d. Peningkatan
serta pengembangan sektor pertanian yang tangguh untuk dapat menanggulangi
masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan melalui peningkatan
pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang agribisnis dan agroindustri, serta
penyediaan berbagai sarana dan prasarana lapangan kerja.
Selain itu, dalam memformulasikan
strategi pengembangan KTI terdapat tiga pertimbangan pokok terhadap potensi dan
peluang yang dimiliki KTI, yaitu:
a. Beberapa
propinsi di KTI merupakan daerah yang kaya akan sumberdaya alam yang memiliki
potensi untuk dikembangkan, yang pada gilirannya dapat pula dikembangkan
menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan.
b. Jumlah
penduduk yang relatif sedikit dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan
luas wilayah, merupakan “katup pengaman” bagi program transmigrasi penduduk
dari wilayah KBI yang relatif lebih padat.
c. Adanya
komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang memperhatikan aspek
pemerataan dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
6.
Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Ada sejumlah teori yang dapat
menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat pembangunan ekonomi antardaerah
diantaranya yang umum di gunakan adalah teori basis ekonomi,teori lokasi dan
teori daya tarik industri.
a.
Teori
pembangunan ekonomi daerah
1) Teori basis ekonomi; faktor penentu
utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan
permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
2) Teori lokasi; digunakan untuk penentuan
atau pengembangan kawasan industri di suatu dareah. Inti pemikiran dari teori
ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha atau perusahaan yang cenderung
mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin oleh karena
itu, pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimalkan keuntungannya dan
meminimalisasikan biaya usaha atau produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan
tempat bahan baku dan pasar.
3) Teori daya tarik industri; alam upaya
pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering di pertanyakan. Jenis-jenis
industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan)? Ini adalah
masalah membangun fortofolio industri suatu daerah.
b.
Model
analisis pembangunan daerah
Selain teori-teori di atas, ada
beberapa metode yang umum digunakan untuk menganalisi posisi relative ekonomi
suatu daerah. Salah satu di antaranya adalah metode analisis shift-share (SS),
location questitens, angka pengganda pendapatan, analisis input output (i-o), dan
model perumbuhan Harold-domar. Berikut adalah sebagian penjelasan dari model
analisis dalam pembagunaan daerah.
1) Analisis SS; dengan pendekatan analisis
ini, dapat dianalisis kinerja perekonomian suatu daerah dengan membandingkannya
dengan daerah yang lebih besar (nasional).
2) Location Quotients (LQ); untuk mengukur
konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sector di suatu daerah dengan cara
membandingkan peranannya adalah perekonomian daerah tersebut dengan peranan
dari kegiatan ekonomi atau sektor yang sampai di tingkat yang sama.
3) Angka Pengganda Pendapatan; digunakan
untuk mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu kegiatan
ekonomi yang baru atau peningkatan output dari suatu sektor di daerah tersebut.
4) Analisis Input-Output (I-O); salah satu
metode analisis yang sering digunakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah
dengan melihat keterkaitan antarsektor dalam usaha memahami kompleksitas
perekonomian daerah tersebut, serta kondisi yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD.
~ Sekian ~
Sumber :
Catatan
Author :
Terima kasih banyak atas semua
sumber yang telah memberikan berbagai macam informasi, sehingga saya bisa
membuat artikel ini. Sekali lagi, terima kasih banyak. :”D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar